Jumat, 29 Agustus 2008

Mahasiswa ‘Copy Paste’


By, Aly Masyhar

Melihat fenomena atau realita yang terjadi di dunia pendidikan, terutama dunia kemahasiswaan, maka kita akan menemui banyak mahasiswa yang hanya bias ngomong dan ngomong saja, dalam prakteknya nol. Dan yang sangat menarik lagi ialah apa yang mereka bicarakan dan omongkan adalah seragam. Terlepas keseragaman tersebut dalam hal pola pikirnya, gaya bicaranya, maupun objek yang dibicarakannya. Mereka melakukan hal itu bagai paduan suara yang selalu mengikuti aba-aba pemimpinnya.

Dengan kenyataan yang seperti ini, maka bias diambil kesimpulan bahwa mahasiswa dewasa ini mengalami krisis intelektual dan kreatifitas. Sebab, apa yang mereka pikirkan, yang mereka bayangkan dan yang mereka bicarakan sejatinya bukan apa yang mereka pikirkan maupun yang mereka bayangkan. Singkatnya mereka hanya menjadi kepanjangan lidah atau copian dari seseorang atau lembaga yang menghegemoni kesadarannya. Mereka tidak mempunyai konsep atau teori sendiri. Bisanya hanya mem-beo dan mem-bebek saja.

Contoh yang lainnya ialah bias kita lihat dari fenomena ketika para mahasiswa itu menjadi kepanitiaan suatu acara atau pelatihan. Mereka kelabakan atau tidak mampu mengerjakan sesuatu tanpa ada dokumentasi-dokumentasi dari kepanitiaan sebelumnya. Mereka menggantungkan pada dokumentasi-dokumentasi tersebut dan tidak mau berkreasi sendiri. Kemudian pertanyaannya ialah kenapa hal ini bias terjadi?, dan apa akibat yang akan ditimbulkan darinya ?.

Untuk menjawab pertanyaan yang pertama, maka bias kita lihat dari pola pengajaran dan pengkaderan yang diselenggarakan kepada mereka. Menurut penulis, hal itu bias terjadi karena pola pengajaran dan pengkaderan yang dipakai ialah system top down, system yang berangkat dari atas (baca: birokrat akademik dan pengurus-pengurus BEM maupun Ekstra) dan tanpa melibatkan atau memperhatikan kebutuhan maupun potensi kader/mahasiswa. System ini memaksakan kehendaknya dan memangkas kreatifitas-kreatifitas yang dimiliki oleh mahasiswa/kadernya. Meminjam istilah focoult, proses ini dikenal dengan proses pendisiplinan. Proses-proses tersebut di desain oleh atasan sedemikian rupa untuk mendisiplinkan bawahannya. Umumnya pendisiplinan ini dikategorikan atau ditopang oleh prosedur-prosedur yang dianggap ‘ilmiah’, dan umumnya lagi hokum-hukum tersebut diberi jubah ‘memanusiakan’. Dalam arti, secara verbal terlihat membantu dan mendidik, namun secara ideologis terdapat konstelasi dan kontestasi kekuasaan yang sangat mematikan, yakni mematikan sifat kreatif dan eksploratif mahasiswa/kader, jika dalam hal ini kita meminjam istilah tokoh kritikus pendidikan sekaligus Pastor yang rela hidup miskin dan bertemankan orang-orang kumal di bantaran Kali Code Jawa Tengah, YB. Mangunwijaya. Pr.

Kemudian akibat yang akan ditimbulkan dengan perilaku tersebut ialah tercerabutnya siswa/mahasiswa dari dirinya dan lingkungannya. Yang pertama ia akan menjadi seseorang yang bermental mekanik, yakni mereka hanya mampu untuk meniru sesuatu alias tidak bias melakukan suatu hal jika hal itu tidak ada contoh yang persis dengannya. Hal inilah yang menurut tokoh fenomenal Madzhab Fanfurt generasi kedua, Jurgen Habermas, disebut sebagai seseorang yang mempunyai rasio instrumental/mekanik. Dalam arti, rasio tersebut hanya berjalan searah dari Subjek ke Objek. Menurutnya, hubungan yang seharusya terjadi disini ialah hubungan dua arah yaitu dari Subjek ke Objek dan Objek ke Subjek, atau ia sebut dengan hubungan dialogis-komunikatif-kritis antar keduannya.

Kemudian yang kedua, yakni tercerabut dari kemasyarakatannya, akan membuat siswa/mahasiswa/kader mati di dalamnya. Dalam arti mereka tidak akan mampu untuk bersosialisasi dan beradaptasi dengan masyarakat berdasarkan apa yang mereka miliki. Sebab, apa yang mereka miliki hanya sebuah kopian tanpa makna. Misalnya, jika nanti setelah mahasiswa/kader itu pulang ke kampungnya masing-masing, dan ketika itu mereka diminta untuk menjadi kepanitiaan sebuah acara dengan tanpa ada dokumentasi, maka mereka tidak akan mampu melakukannya. Sebab, kebiasaan atau pengkaderan yang dilakukan hanya bagaimana meng-copy paste dari dokumentasi. “Apakah nanti mereka disuruh membawa semua dokumentasi kepanitiaan semasa mereka kuliah?, bulshit….?!

Lalu apa yang harus kita lakukan untuk mengatasi hal itu semua?, mari kita cari jawabannya bersama-sama…!?

Kamis, 31 Januari 2008

Ngejowantahing 'Betoro Kolo' Ing Bumi Nuswantoro


By : Aly Masyhar[1]

" semua kerusakan yang terjadi ing' alam kasunyatan' ialah akibat dari ulah manusia sendiri yang tidak bertanggungjawab, serakah dan tidak memayu hayuning buwono"

Dunia ini secara garis besar bias dibagi menjadi dua, yaitu jagad dhuwur lan jagad ngisor, jagad rohaniyah dan jagad jasmaniyah. Kemudian jagad dhuwur bias di bagi lagi menjadi dua, yaitu Ruhiyah dan Jisim lathif. Yang pertama ialah tempat bersemayamnya Nur Allah, dan yang kedua ialah tempat bersemayamnya Nur Muhammad dan Hawa Nafsu empat, Aluamah, Sufiyah, Amarah, dan Mutmainnah. Jadi pada alam Jisim Lathif inilah manusia harus memenangkan peperangan antara Nur Muhammad yang memanifestasikan diri pada Mutmainnah dengan tiga nafsu lainnya. Ketika dalam pertempuran tersebut pihak mutmainnah kalah, maka yang akan muncul dalam alam nyata ialah keburukan, dan begitupun sebaliknya, yaitu jika pihak mutmainnah yang menang maka perihal yang muncul dalam alam nyatap akan baik.

Kemudian, pembagian-pembagian unsure pada diri manusia tersebut ketika kita benturkan dengan kenyataan-kenyataan yang terjadi dewasa ini, semisal banyaknya bencana alam yang telah melanda Negara kita ini. Dari mulai banjir, tanah longsor, gunung meletus sampai tsunami. Dari sini maka kita sudah bias menyimpulkan bahwa pertarungan manusia Indonesia dalam alam Ruhaniyah, Jisim Lathif, tersebut, banyak yang dimenangkan oleh pihak nafsu yang jelek, yaitu salah satu dari nafsu Aluamah, Sufiyah, Amarah, atau bahkan kumpulan dari ketiga nafsu tersebut itu.

Hal di atas senada dengan firman Allah SWT yang inti maksudnya ialah, bahwa kerusakan yang terjadi di bumi, di laut, mapun di udara ialah sebab musabab atau berasal dari ulah tangan manusia sendiri. Dari sini bias dilihat korelasinya, yaitu musibah-musibah tersebut ialah akibat dari ulah manusia yang tidak bertanggungjawab. Kamudian ulah yang tidak bertanggungjawab tersebut dipacu oleh nafsu serakah (Aluamah, Amarah, Sufiyah) yang terdapat pada jisim lathif-nya.

Kekalahan tersebut, kalau kita lihat dalam kenyataannya, tidak hanya dialami oleh kebanyakan masyarakat, baik rakyat maupun para pengusaha, baik logging maupun industri, baik industri pertambangan maupun manufaktur, tetapi kekalahan ini juga banyak dialami oleh pihak birokrasi pemerintah, yang seharusnya bertugas sebagai penyelamat rakyat dan alamnya, ternyata malah berbuat sebaliknya, yaitu bertindak sebagai sebagai pelindung dan penyelamat para maling. Buktinya ialah banyaknya pelaku illegal logging yang kebal dengan hokum dan juga tidak adanya pembatasan eksploitasi alam bagi para industriawan. Pada sisi ini pihak pemerintah bak musang berwajah dua. Dari luarnya terlihat sebagai penyelamat bangsa dan alam kekayaannya, namun di sisi lain mereka sebagai pengahncur bangsa.

Namun demikian, meski pihak pemerintah malakukan kesalahan, pihak masyarakat juga harus introspeksi diri. Apakah dirinya juga terlibat sebagai penyebab kerusakan tersebut atau tidak ?. singkatnya, masyarakat jangan hanya menyalahkan pihak pemerintah saja, tetapi juga melakukan analisis sekaligus pembenahan diri. Setelah proses ini selesai dan ternyata pihak pemerintah dan industri juga belum sadar, maka baru kita bertindak keluar untuk mengingatkannya dengan Mau'idloh Hasanah, dengan menggunakan cara yang baik. Kata Nabi, Ibda' Binnafsik, mulailah dari dirimu sendiri. Hal ini dimaksudkan, terlebih dahulu masyarakat harus mampu memenangkan pertarungan I –nya tersebut. Dan disinilah hadits Nabi tentang jihad ba'da masa peperangan usai mendapatkan konteksnya. Kata Nabi, jihad yang sebenarnya dan paling berat ialah jihad memerangi diri sendiri. Pastinya, proses ini tidak hanya harus dilakukan oleh pihak masyarakat saja, tetapi semua kalangan, termasuk juga pemerintah dan industriawan.

Karena sebab musabab permasalahan tersebut berawal dari sisi alam ruhaniyah, maka penyelesaiannyapun juga harus dimulai dari titik ruhaniyah. Dalam arti pembenahan yang dilakukan harus tertuju pada titik tersebut, dan pastinya kita juga tidak boleh melupakn pembenahan-pembenahan pada sisi luarnya, yaitu pembenahan infrastruktur Negara dan juga mencegah efek negative yang sudah dilahirkan oleh perbuatan tidak bertanggungjawab sebelumnya. Pembenahan-pembenahan sisi luar ini harus solutif praktis dan kongkrit, tidak hanya mandeg dalam tataran ide saja.

Singkat kata, terkait pembenahan dan solusi dari pengejowantahan 'betoro kolo' ing bumi nuswantoro ini, harus dilakukan pada dua sisi, sisi ruhaniyah yaitu bagaimana kita harus bias mengalahkan nafsu jelek kita, dan juga sisi luar atau jasadiyah yang ditujukan pada penanggulangan efek-efek negative yang sudah terjadi. Namun, dari kedua sisi tersebut, sisi yang ditekankan ialah sisi ruhaniyahnya, sebab ruhaniyah ialah sebab awal terwujudnya alam kasunyatan. wallahu a'lam 'ala kulli syai'in dhohiron wal batinan.

Written on 26, Saturday January 2008.



[1] Mahasiswa Tribakti fak. Tarbiyah smt VII yang sedang mencari niring kang suci lan hakekating urip.

PROBLEMATIKA KURIKULUM :

Aly Masyhar

Pendidikan adalah salah satu sarana pengembangan potensi diri manusia untuk memberikan bekal-bekal kehidupan daripadanya. Untuk memenuhi bekal hidup yang relevan dan use full bagi manusia, proses pendidikan tersebut haruslah mutu dan histories. Dalam arti pendidikan tersebut harus sesuai dengan konteks dimana manusia itu tinggal. Jika tidak maka proses pendidikan tersebut tak akan memberikan manfaat apa-apa baginya. Bahkan malah membuat manusia tersebut bak keledai yang tersesat dalam lingkungannya sendiri. Dia tidak tahu apa yang harus ia perbuat dalam hidup dan lingkungannya. Hal yang terakhir inilah biasanya di sebut dengan a-historisitas.

Fenomena di atas bisa kita cross chek langsung pada kenyataan hari ini yang, menurut penulis, kurikulumnya cenderung a-historis. Meskipun pemerintah sudah menganjurkan untuk diberi waktu lumayan banyak untuk kurlok, namun dalam kenyataannya , kurlok tersebut lebih cenderung di masuki atau di gunakan untuk mengenalkan potensi-potensi daerah secara umum, lebih jelasnya adalah budaya dominan. Dan hal ini wajib diketahui oleh seluruh siswa. Kita tahu sendiri, bahwa setiap siswa mempunyai bakat, minat dan latar belakang sendiri-sendiri, maka tidak bisa di tungalkan sebagimana di atas.

Kembali ke pembahasan a-historis, ketika penulis pulang kerumah penulis pernah dikeluh kesahi oleh orang tua seorang mahasiswa salah satu Universitas bergengsi di Kediri. Dia mengatakan dengan wajah yang sedih dan heran, katanya " nyapo yo ?, sak wise anakku kuliah kok koyo-koyo ora ngerti penggaean ngomah, koyo-koyo wis ora weruh, terus sak jane kuwi kan sumber biaya kanggo awake kuliah ?". "kenapa ya ?, setelah anak saya kuliah kok seakan-akan sudah tidak tahu dengan pekerjaan yang ada di rumah, maksudnya pekerjaan sehari-hari yang nota benenya dia adalah anak seorang petani, seakan-akan sudah tidak tahu, terus kemudian sebenarnya pekerjaan itu kan sumber biaya untuk kuliah dia ? ". dari fenomena ini muncul dua kemungkinan, pertama, karena memang anknya memang bandel, kedua, karena memang pengaruh kurikulum dan sosiologi kampusnya yang a-historis.

Untuk mengecek kemungkinan pertama, penulis sering bersama anak orang tua itu dan sedikit meneliti dan mendapatkan keterangan bahwa anaknya di kampus tergolong anak yang cerdas dan rajin, bahkan dia kurang memperhatikan kegiatan-kegiatan ekstra kampus karena memberatkan masalah kuliahnya. Maka keadaan ini sudah bisa mementahkan kalau masalah kepribadian anaknya tersebut sebagai penyebab terjadinya ketercerabutan dia dari lingkungan keluarga dan lingkungannya. Selain itu fenomena ini juga mengerucutkan pada kemungkinan kedua, yaitu masalah kurikulum dan sosiologi kampus yang a-historis.

Kedua, kurikulum dan sosilogi kampus yang a-historis tidak lain adalah Kurikulum-kurikulum yang diberikan tidak pernah berkaitan langsung dengan dunia mahasiswa itu sendiri, atau ada kaitannya tetapi tidak di sentuhkan langsung pada kenyataannya . kita tahu bahwa tradisi kampus kita, Indonesia, dalam hal kurikulum atau mata kuliah, lebih cenderung menekankan pada ranah kognitifnya dari pada yang lain dan juga lebih cenderung melangit dalam angan-angan belaka. Selain itu juga tak pernah menghadapkan dan menyentuhkan mahasiswa secara langsung dengan masyarakat nyata, ada memang yaitu KKN dan PPL atau Praktikum, tetapi hal itu hanya sebentar dan lebih di tekankan pada pencarian nilai belaka , jadi mengakibatkan focus mahasiswa hanya tertuju pada nilai tersebut, bukan pada hal substansi diadakannya KKN atau praktek lapangan. Dengan focus nilai, kurikulum yang melangit apalagi di tambah dengan sosiologi kampus yang hedonis, maka tidak heran kalau nantinya melahirkan mahasiswa-mahasiswa sebagimana sample diatas.

Hipotesa awal kami, Dengan historisitas, pendidikan yang mempunyai landasan histories dan sesuai dengan lingkungan dimana pendidikan tersebut diselenggarakan, kemungkinan besar yang terjadi adalah manusia tersebut bisa memanfaatkan apa yang ada dalam lingkungannya sekaligus merasa memilikinya. Jika seseorang sudah merasa memilki maka ia akan berusa sekuat tenaga untuk menjaga, memanaatkan dan mengembangkannya. Bukankah hal ini adalah salah satu tujuan diadakannya pendidikan ?.

Written on 14 Des. 2007.

By : Aly Masyhar

Buruh Masih Dalam Cengkraman Tiga Kekuatan Setan !


Aly Masyhar

(tulisan singkat ini penulis persembahkan kepada temanku dan yang senasib dengannya yang perjalanan kehidupannya telah memberikan inspirasi penulis untuk menulis artikel ini. hanya inilah yang bisa penulis buat untukmu wahai shobat, maafkanlah kelemahanku ini….)

Dik…!, panggilan akrabku kepadanya, kenapa kok tidak kerja lagi ?, tanyaku bingung.

"Aku tidak kerasan mas kerja di situ, karena aku tidak bisa melakukan sholat, aku qdlo' terus". Jawabnya dengan sedih.

"Kan gajinya tinggi, memang gaji adik setiap bulan berapa ?", tanyaku lagi dengan nada menghibur.

"Ya tidak tahu ka', gaji bulananku sebesar 700 ribu rupiah", Jawabnya sambil menatapkan wajahnya ke langit seakan mengingat-ingat kembali berapa besar gaji bulanannya.

Di atas adalah sedikit penggalan perbincangan penulis dengan seorang temen penulis yang kerja di salah satu Mall kenamaan di Jakarta Utara yang kini telah melarikan diri ke Solo karena tidak tahan dengan situasi sebagimana di atas dan juga karena takut sama Orang tuanya jika pulang kerumah. Sebab dia ketika sebelum berangkat ke Jakarta itu dia bilang kepada Orang tuanya bila ia akan pulang bulan 7 depan, dia berangkat bulan Desember 2007, dan akan melanjutkan setudinya , yaitu Kuliah di Perguruan tinggi yang sudah lama menjadi impian dan cita-citanya, dengan menggunakan uang hasil jerih payahnya tersebut. Namun sekarang, dengan kondisi yang tidak memihak tersebut, impian itu hanya jadi bunga tidur belaka.

Melihat fenomena yang telah menimpanya tersebut, penulis menangis sedih. Yang penulis tidak habis piker ialah, di masa yang di tengah-tengahnya banyak bermunculn orang yang menyuarakan tentang penghormatan Human Raight, kesetaraan, pluralis dan hak buruh yang sangat memekakan kendang telinga. Di sisi islam, banyak yang menyuarakan bahwa islam adalah agama yang sangat komplit, mengatur segalanya dan akan bahagia ketika akan mengikutinya yang seakan-akan telah menyibakkan tirai yang begitu gelap gulita menuju zaman yang penuh kasih dan cahaya ilahi. Dan di pihak pemerintah juga tidak mau kalah saing, mereka menyuarakan dengan arogan-nya bahwa mereka akan menyejahterakan rakyatnya dalam semua lininya termasuk kebebesan hak dan mereka juga menyuarakan bahwa masalah pendidikan akan dinikmati oleh semua khalayak masyarakat tanpa terkecuali. Orang miskin atau kaya bukan penghalang untuk menikmati kelezatannya, ternyata masih ada saja peristiwa yang menyedihkan sebagaimana yang dialami temen penulis tersebut.

Dari fenomena menyedihkan tersebut, kita bisa mengetahui, malacak dan secara induktif menyimpulkan bahwa di negri yang kata Koes Plus kayu dan batupun bisa jadi tanaman, yang artinya negri ini sangatlah kaya raya, masih banyak ketimpangan-ketimpangan yang terjadi di dalamnya, dan juga terkait tiga besar kekuatan yang terus-menerus berebut pengaruh dan kekuasaan, yaitu kaum agamawan, capital, dan pemerintah, masih belum memihak pada kaum grass root dan rakyatnya. Untuk lebih jelasnya, mari kita bredel satu persatu dalam alinea-alinea selanjutnya.

Buruh dan Haknya

Fenomena yang telah dialami teman penulis di atas, yaitu tidak mendapatkan kesempatan untuk melakukan sholat yang menjadi hak sekaligus kewajiban privasi-nya sebagai muslimah tersebut, sudah bisa menunjukkan bahwa buruh di negeri kita ini, terutama buruh perempuan, masih kurang mendapatkan perhatian. Fenomena ini, jangan dilihat dari segi masalah yang menyebabkan teman penulis melarikan diri, yaitu masalah sholatnya, tetapi kita harus melihatnya dengan skala yang lebih luas dan komprehensif. Dari sini, pertanyaan yang muncul ialah kenapa tidak ada waktu atau kesempatan untuk memenuhi hak privasi bagi buruh ?. Terlepas hak privasi itu apa bentuknya. Semisal, hamil, melahirkan, haid, senggang waktu untuk beribadah dan hak-hak privasi lainya.

Terkait dengan kehamilan, penulis mempunyai pengalaman menarik sekaligus menyedihkan. Kala itu, tepatnya pada tanggal 30 Desember 2007, penulis berniat untuk menghadiri upacara pernikahan teman di daerah proboloinggo, karena dari rumah penulis dan beberapa teman rombongan belum membuat dan membawa kado buat diberikan nanti, kami menyempatkan diri untuk membeli beberapa barang yang layak untuk dibuat kado di sebuah mall di tengah-tengah kota Probolinggo itu. Kemudian setelah selesai membeli barang-barang itu, kami berniat untuk membungkuskannya di tempat pembungkusan yang masih dalam lingkungan mall kenamaan kota probolinggo tersebut. Ketepatan , yang bertugas membungkus tersebut ialah dua orang kariawati yang lumayan memoles diri dengan macam-macam kosmetik hingga terlihat sedikit menor, tapi setelah kami mengamati lebih cernat, kami kaget, ternyata salah satu dari mereka ada yang hamil tua. Dengan melihat itu, salah satu dari kami memberanikan diri untuk bertanya.

"Maaf mbak.., pean lagi mbobot nggih..?", Tanya temanku halus.

"Ya mas."., jawabnya singkat

"Nopo mboten wonten cuti hamil..?" kejar temanku.

Dengan tangannya terus bekerja membungkus, karyawati tersebut menjawab, "tidak mas.., adanya Cuma cuti melahirkan".

"Masyaallah, sampai seperti inikah sengsaranya seorang buruh, betapa tidak manusiawinya system ekonomi ini..," jerit dalam hatiku.

Ulasan cerita di atas, memperkuat bukti bahwa hak buruh, terutama buruh perempuan, memang masih belum mendapatkan perhatian yang serius sebagaimana idealnya. Coba kita pikir sejenak, berapa menitkah waktu untuk melakukan sholat itu ?, mungkin hanya 5 sampai 10 menit saja, tapi kenyataanya hal itu tidak diperhatikan oleh pihak pemilik Mall tersebut. Lalu terkait gaji, cukupkah gaji 700 ribu rupiah per bulan tersebut, sebagaimana yang telah diterangkan teman penulis, untuk memenuhi kebutuhan keseharian buruh yang nota bene-nya berdomisili di daerah yang penuh dengan komersil, persaingan dan barang serba mahal, yaitu Jakarta ?. hal ini belum lagi kalau seumpama buruh tersebut mempunyai keluarga atau impian tinggi semisal menabung biaya untuk melanjutkan studinya., pasti jawabanya mustahil cukup dan tercapai, kecuali kalau mereka memang hidup sebagaimana para pengemis, tidur tidak dalam rumah, dan makan seadanya. Dan juga coba kita bandingkan dengan berapa banyak laba yang telah dikantongi oleh pemilik Mall dengan memeras keringat Buruhnya tersebut ?, betapa tidak sebanding dan tidak adil, satu sisi buruh dipaksa untuk bekerja ekstra tanpa ada waktu untuk memenuhi hak privasi yang harus mereka tanggung dan juga hanya mendapat gaji yang tidak mencukupi kebutuhan, dan di sisi yang lain pihak pemilik modal, termasuk pemilik Mall, dengan santai dan tidak perlu mengeluarkan keringat setetespun, bisa hidup mewah nan damai. Disinilah sebenarnya konsep alienasi buruhnya Karl Marx menemui konteksnya, buruh teralienasi dari dirinya dan karyanya.

Fenomena Pendidikan Indonesia

Sebagaimana yang telah tercantum dalam UUD 45, bahwa pendidikan adalah hak seluruh rakyat Indonesia dan pemerintah pusat dan daerah yang bertanggung jawab untuk mewujudkannya. Masih dalam UUD, untuk meratakan hak pendidikan, UUD 45 juga mengamanatkan bahwa pemerintah pusat maupun daerah harus mengalokasikan dana APBN/APBD nya untuk pendidikan sebesar 20 %. Dua kabar ini, sangat menggembirakan hati masyarakat Indonesia kebanyakan, dengan dua statement UUD tersebut, seakan impian-impian mereka untuk cerdas dan mendapatkan kesempatan pendidikan bisa terbuka lebar. namun saying, impian-impian tersebut menguap dalam kenyataan, dalam arti konsep tersebut hanya berhenti dalam konsep dan ide, dalam realitanya tidak ada. Natijah ini diambil dari mana ?

Banyak bukti yang menuntut untuk berkesimpulan sebagaimana di atas. Salah satunya ialah fenomena yang dialami teman penulis di atas, dia rela untuk berpisah dengan orang tuanya, sanak keluarganya dan teman-teman sebayanya di kampong hanya karena untuk memenuhi impiannya, yaitu bisa kuliah di suatu Perguruan Tinggi impiannya dengan pergi bekerja di Jakarta yang ternyata hasilnya nihil. Dan masih banyak lagi contoh-contah peristiwa yang senada. Misalnya lagi yaitu sebagaimana yang di alami oleh sepupu penulis dan juga bahkan penulis sendiri. Dulu, kalau saja penulis tidak ngotot untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan kuliah, maka penulis tidak akan bisa menikmati jenjang pendidikan itu, dengan ngotot-nya penulis, alhamdulillah orang tua penulis, meskipun dengan perasaan berat dan galau nanti bisa membiayai atau tidak – lumrah kami memang dari keluarga petani desa- , mengabulkan penulis untuk kuliah di PTIS kecil Di Kediri. Sedang yang menimpa sepupu penulis ialah lebih ironis lagi, dia sampai kini tidak bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang setingkat SLTA, dia tidak boleh sama orang tuanya karena alasan biaya, juga lumrah sebab orang tuannya tersebut ialah hanya bekerja sebagai buruh tani. Karena alas an tersebut, dia pergi ke Surabaya untuk bekerja sebagi buruh kasar hingga kini.

Kemudian terkait prosentase dana yang harus di alokasikan oleh Pemerintah Pusat maupun Daerah ke pendidikan juga belum mencapai target yang diamanatkan oleh UUD, yaitu 20 %. Contoh saja Kota kediri, keputusan beberapa waktu lalu, yang kini sudah jadi APBD, alokasi dana untuk pendidikan hanya berkisar 11 %, selisih sedikit dengan dana untuk PERSIK dan untuk pembangunan GOR, yaitu sekitar 10 % dari APBD. Kemungkinan besar hal ini juga terjadi di daerha-daerah lain.

Dengan ulasan-ulasan dan bukti-bukti incident di atas, kami kira sudah cukup bukti kalau dua amanat mulia UUD 45 tersebut belum bisa dilaksanakan oleh pihak pemerintah. Hal itu hanya habis bagi birokrasi ketika orasi kampanye pemilihan saja. Wallhu a'lam.

Buruh dan segitiga kekuatan

Sebagaimana yang telah dinyatakan Michle Focoult, dunia realita tidak akan lepas dari yang dia sebut dengan konstelasi kekuasaan antar unsure-unsur di dalamnya. Baik benturan-benturan itu terjadi secara horizontal, vertical maupun secara horizontal sekaligus vertikal. singkatnynya, proses tersebut akan melahirkan pihak yang menindas dan yang ditindas.

Kemudian, sebagaimana fenomena dalam pembahasan awal, karena di sini penulis berusaha untuk mengkaji teks atau fenomena tersebut dengan menggunakan Critical Discourse Analisis, bukannya mengkaji tentang bagaimana pemikiran tokoh-tokoh kefilsafatan, maka kami akan langsung berusaha membredel fenomena tersebut. Kekuatan-kekuatan apa sih yang mempengaruhi keterpurukan nasib buruh dalam konteks pembahasan ini ?

Dalam fenomena ini, kalau kami boleh menyederhanakan, terdapat tiga kekuatan yang saling mempengaruhi dan juga saling menguatkan. Ketiga kekuatan ini bersatu untuk menundukkan dan menindas kaum oposisi vertikalnya, kalau dalam konteks pembahasan kali ini adalah kaum Buruh. Ketiga kekuatan tersebut tidak lain adalah Pemerintah, Pemodal dan Agamawan. Yang terakhir biasanya difungsikan sebagai pelegitimasi dari proyek-proyek dua kekuatan lainnya. Dan untuk lebih jelasnya lagi, sehubungan dengan keterkaitan ketiga kekuatan tersebut terhadap kondisi Buruh yan sangat memprihatinkan tersebut, maka kami akan berusaha untuk mem-bredel-nya satu - persatu dalam kalimat-kalimat berikut ini.

Pertama, pihak pemodal.

Maksud pemodal di sini ialah seseorang yang mempunyai aset produksi yang kemudian dengan kepemilikannya tersebut dia mampu mengendalikan orang/lembaga lain melalui sebuah system atau aturan-aturan. Hal ini dimaksudkan untuk mengeruk laba yang sebesar-besarnya dengan cara menekan pengeluaran seminim mungkin. Umumnya hal ini berbentuk sebuah perusahaan dan pabrik.

Kemudian terkait dengan pembahasan kali ini, jelas bahwa dalam membentuk kesengsaraan tersetruktur buruh pihak pemodal sangat besar kontribusinya. Kita bisa lihat dari kenyataannya bahwa buruh harus kerja ekstra dengan tanpa menghiraukan hak privasinya dan juga bisa dilihat dari sisi minimnya gaji yang mereka dapatkan. Singkatnya buruh ter- alienasi dari dirinya sendiri dan juga karyanya. Dua hal terakhir inilah yang kemudian berakhir dengan adanya Surplus (nilai tambah). Sesuatu yang seharusnya hak buruh diambil oleh pihak pemodal.

Hal ini terjadi, sebagaimana bacaannya tokoh politik neo-marxis dari kebangsaan Italia, Antonio Gramsci, karena adanya hegemoni dari pihak pemodal terhadap kesadaran buruh. Hegemoni ini bisa berbentuk aturan-aturan, kebijakan-kebijakan atau bahkan etika fiktif yang memang sengaja dilontarkan oleh pihak pemodal yang lama kelamaan menjadi sebuah tradisi atau tata nilai yang seakan-akan alamiah dan normal-normal saja. Kesimpulannya proses ini sangat halus, hingga mayoritas buruh atau bahkan mayoritas orang tidak mengetahui keberadaan ketimpangan realita ini. Dengan adanya proses hegemoni inilah yang menurut Gramsci revolusi buruh/proletar yang diramalkan oleh sang maestro konsep Dialektika Materialis, karl Marx, gagal dan tidak terjadi.

Kedua, pihak pemerintah.

Tashoruful imam 'ala ro'iyatihi manuthun bil mashlahah, tashoruf / perhatian/ arah kebijakan seorang pemimpin pada rakyatnya harus berdasarkan pada kemashlahatan bersama. Dengan arti bahwa seorang pemimpin harus berusaha untuk 'menyejahterakan' rakyatnya dengan cara apapun dan baik. Termasuk didalamnya ialah pemenuhan dan penjagaan hak asasi mereka.

Kemudian, ketika amanat mulia ini dibenturkan dengan kenyataan yang terjadi sebagaimana yang telah penulis terangkan dengan luas dalam paragraf-paragraf sebelumnya, maka sudah jelas bahwa pihak pemerintah masih belum bias bahkan jauh dari penerapan adagium tersebut. Pemerintah masih membiarkan ketimpangan-ketimpangan yang menimpa rakyatnya terjadi begitu saja. Bukti kongkritnya ialah hak – hak asasi rakyatnya di injak-injak oleh orang lain, dalam konteks ini ialah pemodal terhadap buruh, pemerintah tidak memberikan respon yang serius terhadapnya. Bahkan, kalau kita teliti lebih jeli, maka akan terlihat jelas bahwa pemerintah lebih cenderung memihak kepada mereka, pemodal. Hal ini dibuktikan dengan adanya kebijakan privatisasi, deregulasi, pencabutan subsidi hingga militerisasi.

Dengan beberapa alat Bantu di atas, dan memang kebijakan-kebijakan pemerintah tersebut adalah permintaan dari para pemodal, pemodal bias dengan leluasa bermain-main memainkan buruh guna mencapai tujuannya, yaitu mengeruk laba sebesar-besarnya. Dengan ini pastinya, korban dari perselingkuhan pemerintah dengan pemodal tersebut tidak hanya kaum buruh, tetapi seluruh rakyat.

Yang terakhir, pihak agamawan.

Kaitan pihak ketiga ini dengan fenomena di atas ialah, agama yang seharusnya dating ke dunia berfungsi untuk melepaskan belenggu yang di derita oleh umat manusia malah berbuat sebaliknya, yaitu ia lebih disibukkan dengan persoalan-persoalan prifasi daripada masalah umum keumatan, Ia lebih mementingkan masalah vertical ketimbang masalah horizontal, social, Dan ia hanya bias bilang halal haram tanpa melihat situasi culture dan tanpa memberikan solusi kongkritnya. Singkatnya, dewasa ini agama menjadi mandul ketika dihadapkan dengan realita yang diderita umatnya.

Dewasa ini, selain dalam realitanya agama telah mandul, juga tidak jarang agama hanya digunakan untuk legitimasi penindasan oleh mereka-mereka yang tidak bertanggung jawab. termasuk di dalamnya terkait pembahasan kali ini, yaitu agama sering dijadikan legitimasi kebijakan oleh pihak pemodal. Kalau bukan prakarsa pemodal terhadap kaum elit agama, biasanya kesadaran agama buruhlah yang ditunggangi. Dalam arti, kalau yang awal itu memang prakarsa dari pihak pemodal, tetapi kalau yang terakhir lebih bias dikatakan pemanfaatan kelemahan buruh dari segi kefahaman keagamaannya.

Bagaimana punya waktu untuk memperhatikan nasib buruh la wong agama sudah sibuk dengan masalahnya sendiri yang cenderung melangit itu ?, kemudian juga bagaimana mungkin elit agamanya bias merasakan penderitaan buruh dan memperjuangkannya, la wong mereka tidak pernah merasakan penderitaan dan juga cenderung disibukkan dengan urusan politik yang mereka tujukan untuk kepentingannya sendiri ? wallahu a'lam.[1]

Natijah

Dari ulasan-ulasan panjang lebar di atas maka bias di tarik kesimpulan bahwa selama ini, dan sampai kini nasib buruh masih dalam keadaan yang sangat memprihatinkan. Hak-haknya tidak diperhatikan dan dipenuhi.

Yang ikut bertanggung jawab terhadap nasib buruh tersebut ialah tiga kekuatan besar, antara lain pemodal, pemerintah dan agamawan. Yang pertama sebagai pelaku utama, dan pihak kedua dan ketiga berperan sebagai alat dan pelegitimasi yang pertama.

Saran

1. terkait dengan nasib buruh, pemerintah harus bias memberikan kebijakan yang proporsional dan memihak, dan juga harus bertindak tegas pada pemodal jika hak-hak buruh tersebut tidak dipenuhi.

2. agamawan harus bias menumbuhkan kembali semangat pembebasannya, yaitu menghilangkan belenggu umatnya selain memberikan kekuatan sepiritual yang memang sudah tugas lazimnya kepada umatnya. Dalam arti tidak menjadi tangan kanan dari salah satu kedua kekuatan besar lainnya.

3. pihak pemodal harus memberikan hak-hak buruh, baik asasi dan privasi, sebagaimana idealnya, kalau terkait dengan gaji maka harus di ukur dengan pemenuhn kebutuhan, dan pastinya harus lebih dari itu. Hal ini dimaksudkan supaya buruh selain bias memenuhi kebutuhan sehari-hari juga bias untuk menabung untuk persiapan kebutuhan kelak.

Written by

Aly Masyhar

Finished on 31 Januari 2008.



[1] Pastinya di sini tidak semua tokoh agama sebagaimana tersebut tapi menurut pengamatan penulis ada beberapa oknum..

Jumat, 18 Januari 2008

Benarkah Islam Menghormati Perbedaan dan Keanekaragaman ?


لكم دينكم ولي الدين ( الكفرون : 6 )

لنا أعملنا و لكم أعملكم (الحد يث)

Agammu agamamu agamaku agamaku

Amalku amalku amalmu amalmu

Melihat dari dua dalil di atas, baik yang dari Al-qur'an maupun al –Hadist, secara eksplisit bisa ditarik kefahaman bahwa betapa islam sangat menghormati agama atau keyakinan orang lain. Atau beberapa pakar pemikir mengatakannya sebagai faham pluralisme. Faham pluralisme secara mudahnya ialah sebuah faham yang meyakini bahwa di dunia ini terdapat beberapa hal yang berbeda-beda. Dengan perbedaan-perbedaan tersebut bukannya kita disuruh untuk saling mengalahkan dan menghancurkan, tetapi malah kita disuruh untuk saling menghormati dan mengambil hikmah darinya. Hal ini sebagaimana yang telah diutarakan oleh Allah dalam firmanya, tepatnya di dalam surat al-hujurat ayat 14[1]. yang inti maksudnya ialah kita, manusia, di ciptakan oleh Allah dari laki-laki dan perempuan, 2 jenis kelamin berbeda yang bersatu, dan juga kita ditakdirkan menjadi beberapa golongan atau kelompok-kelompok yang berbeda-beda. Hal ini dimaksudkan supaya kita saling mengenal satu sama lain dan saling menghormati, mengasihi dan mengambil hikmah dari padanya. Selain itu, dari keterangan ayat ini juga diketengahkan bahwa Allah tidak melihat seseorang dalam bentuk formanya, baik etnis, ras maupun bangsanya, tetapi Allah lebih melihat seseorang dari keteguhan batinnya, yaitu ketaqwaan kepadanya. kesimpulannya, islam adalah agama yang menghormati perbedaan dan juga memerintahkan untuk melakukannya.

Kemudian melihat kenyataan di Indonesia, Indonesia adalah suatu Negara yang masyarakatnya sangatlah majmuk. Baik dari tataran agama, suku, etnis, budaya, hingga bahasanya. Maka dari itu sikap saling menghargai antar sesame sangat diperlukan. Sikap ini harus dilakukan karena selain hal itu adalah memang anjuran agama juga supaya tidak terjadi chaos antar sesamanya. Terkait dengan ini coba kita berfikir sejenak, betapa indah kebersamaan itu…, kita hidup dalam suasana damai, saling kasih dan jauh dari perseteruan. Dan juga coba kita bayangkan, betapa menakutkan jikalau kita hidup dalam suasana yang penuh dengan kebencian dan perseteruan sebagimana yang telah terjadi pada tahun 60 an, pembunuhan yang tak manusiawi yang hanya disebabkan oleh kesalahfahaman memahami ideology dan agama. Ya Robbana Ihfidzna 'ala dzalik coba kita renungkan…., benarkah agama memerintahkan untuk saling membunuh, membenci, dan menghancurkan hak orang lain ?,.., kami yakin tidak,…, sebab semua agama, terutama islam, mengajarkan hal-hal yang baik bukannya hal yang merusak. Kenyataan itu terjadi karena kekurangfahaman terhadap agamanya saja

Untuk memperkuat lagi, kalau islam adalah agama yang menghormati perbedaan ialah siroh Nabi Muhammad SAW ketika berada di Madinah. Ketika Nabi Muhammad diangkat sebagai pemimpin agama sekaligus pemimpin Negara-kota madinah, nabi sangat toleran dengan masyarakat yang masih menganut agama nasroni dan yahudi, bahkan hal itu terdokumentasikan dalam piagam madinah. Hak kebebasan masyarakat nasroni dan yahudi, baik pada tataran ibadah, maupun hak berkumpul dijaga oleh Negara. Singkatnya tidak ada unsure diskriminasi dalam segala lininya dan semua penganut agama bisa hidup secara berdampingan dengan penuh keharmonisan dan kasih saying antar sesama[2]. Hal yang senada, yaitu harus adanya sikap toleransi kepada semua pemeluk agama yang berbeda, ialah kisah seorang gubernur di suatu daerah kekuasaan islam pada masa kholifah Umar bin Abdul Aziz. Kala itu pihak pemerintah yang dipimpin oleh gubernur itu mempunyai keinginan untuk membangun sebuah masjid yang megah nan indah, namun disamping lahan yang akan dibangun masjid tersebut terdapat sebuah gubuk reyot milik seorang penganut agama Yahudi. Karena gubuk yang reyot dan kumuh itu dianggap mengganggu keindahan masjid, gubernur itu membongkar paksa gubuk yang sudah mau ambruk itu meskipun diiringi dengan isak tangis memelas sang empunya. Merasa haknya di dzolimi, seorang yahudi tersebut mengadu pada Kholifah Umar bin Abdul Aziz tentang masalah itu. Kemudian tanpa berfikir lama, sang Kholifah langsung mengambil sebuah tulang binatang dan membuat garis ditengah-tengahnya dengan menggunakan pedang yang kemudian dikirimkan ke gubernur tersebut. Setelah menerima kiriman tulang bergaris tengah dari Amirul Mukminin tersebut, sontak hati sang gubernur terasa ciut dan tubuhnya gemetar ketakutan. Hal itu karena maksud kiriman tersebut ialah sang gubernur harus bisa memberikan atau menegakkan keadilan pada rakyatnya, kalau tidak maka ia pantas untuk menerima konsekuensinya, yaitu hokum penggal. Dengan melihat hal itu, sang gubernur langsung memerintah perangkatnya untuk mendirikan kembali gubuk milik Orang yahudi tersebut, bahkan lebih baik dari keadaan sebelumnya.

Dari ulasan dua kisah di atas maka bisa di ambil kesimpulan bahwa keadilan, dan toleransi tidak boleh pilih kasih. Dalam arti semua orang, baik itu beda agama, beda ras, beda etnis maupun suku, tetap mempunyai hak yang sama terhadapnya. Maka tidak ada alasan untuk mendiskriminasikan orang lain hanya berdasarkan keberbedaan agama dan lainnya dalam segala bidang, baik sosial, politik maupun ekonomi. Yang ada ialah kesetaraan hak, kerukunan, dan keharmonisan hidup antar sesamanya.

Terkait dengan masalah hubungan antar sesame ini, islam sudah membakukannya dalam sebuah konsep Ukhuwah, konsep ukhuwah tersebut dibagi menjadi tiga, yaitu Ukhuwah islamiyah, Ukhuwah wathoniyah dan ukhuwah Basyariyah.

Pertama, ukhuwah islamiyah. Maksud Ukhuwah ini tidak lain ialah bagaimana seharusnya seorang muslim berhubungan dengan sesame orang muslim, atau lebih mudahnya ialah hubungan antara umat seagama. Antar umat seagama seorang muslim harus saling kasih mengasihi, hormat menghormati dan bahkan harus menganggap nya sebagai saudara. Terkait dengan masalah ini Nabi Muhammad SAW pernah mengibaratkan bahwa seorang muslim satu dengan muslim lainnya ialah bagaikan sebuah bangunan yang satu sama lainnya saling menguatkan dan juga bagaikan sebuah kesatuan organ tubuh yang satu sama lainnya saling memenuhi. Salah satunya saja ada yang tidak berfungsi maka akan terjadi ketidakseimbangan dan berakhir pada kehancuran kesemuannya.

Kedua, Ukhuwah wathaniyah, ukhuwah ini merupakan sebuah hubungan antara manusia yang didasarkan pada kesamaan bangsa atau Negara. Didalamnya tidak ada sekat agama, ras, etnis maupun suku. Yang ada ialah bagaimana mewujudkan kepentingan bersama, yaitu keharmonisan hidup, kesetaraan hak dan kewajiban di antara orang-orang yang masuk dalam satu bangsa tersebut. Sikap toleransi, inklusif, saling memahami, saling menghormati dan sikap tanggungjawab sangat dibutuhkan di sini.

Ketiga, ukhuwah Basyariyah, bagian ukhuwah yang terakhir ini skupnya lebih luas disbanding dengan kedua konsep sebelumnya. Sebab konsep ini mencangkup hubungan antar manusia yang tidak tersekat oleh apapun secara global. Yang di tekankan ialah kepentingan sesame manusia, bukannya kepentingan salah satu agama, Negara, golongan, apalagi kepentingan satu suku dan aliran.

Dari beberapa ulasan di atas, baik dari sisi ajaran, histories, dan realita yang seharusnya secara akal sehat, maka bisa di tarik kesimpulan bahwa islam sangat menghormati perbedaan, dan keanekaragaman. Islam juga menganjurkan umatnya untuk bersikap bijak terhadapnya supaya bisa mengambil pelajaran sekaligus hikmah di dalamnya dan menentang sebaliknya, yaitu menghancurkan yang lain hanya berdasarkan perbedaan dan keanekaragaman. Singkatnya islam menghendaki perdamaian bukannya peperangan. Islam menghendaki persahabatan bukannya permusuhan dan seterusnya. Wallahu A'lam bishowab.



[1] Lafdz bisa di lihat di surat al-hujurat ayat 14

[2] Untuk lebih jelasnya lihat isi piagam madinah

Minggu, 06 Januari 2008

KETERPURUKAN DALAM KEMAJUAN


Kota Kediri terlihat begitu megah, banyak gedung-gedung mencakar langit bermunculan, mulai dhoho plaza hingga hotel surya yang di kelilingi begitu banyak mini market-mini market yang tidak kalah gengsinya dengan sri ratu dan golden. Dari sisi kebudayaan dan pariwisatanya juga begitu mencuat, terutama seni kuda lumpingnya yang beberapa waktu lalu sempat di gelar 64 kelompok kuda lumping se kediri manggung bersama di sepanjang jalan dhoho dan pagi harinya di lapangan brawijaya yang di maksudkan untuk menembus label atau rekor MURI. Dan juga pada sisi olah raganya, PERSIK, juga mengalami kemajuan pesat meskipun akhir-akhir ini mengalami penurunan. Di samping PERSIK, PEMKOT juga memberikan atau membuat fasilitas Olah Raga, yang pastinya bukan untuk tukang becak, PKL, maupun pemulung, tetapi untuk para Birokrat dan kaum borjuis lainnya, yaitu pembangunan GOR yang pastinya juga akan merogoh anggaran APBD yang tidak sedikit.

Di balik kemegahan dan kemajuan beberapa sisi tersebut, ternyata masih banyak terjadi ketimpangan di sana sini. Baik dari sisi alokasi atau pembagian anggaran dalam RAPBD maupun dalam pelaksanaan lapangannya yang sangat carut marut. Kemiskinan, pelayanan kesehatan untuk masy-kin, pendidikan, dan pengangguran masih terlihat kurang di perhatikan dalam pembagian kenikmatan tersebut, bahkan di indikasikan lebih memprioritaskan pejabatnya dari pada rakyatnya.

Dari latar belakang inilah naskah pementasan ini kami buat,…, semoga ada manfaatnya.. amin.

Pemain :

Anak miskin sekolah 1 orang

Sarjana pengangguran 1 orang

Petani kere 1 orang

Orang miskin sakit 1 orang

Persik (anak emas) 1 orang

Pejabat DPRD 1 orang

OKP Pemkot 1 orang

Properti :

Anak miskin sekolah : seragam sekolah sd/smp/sma

Sarjana pengangguran : jas dan map

Petani kere : Caping, pakaian kombor hitam dan cangkul

Orang miskin sakit : perban atau kain putih untuk blebet

Persik (anak emas) : kaos persik

Pejabat DPRD : jas dan dasi

OKP Pemkot : jas dan dasi

Property umum :

- kertas manila untuk kokat setiap pemain (7) dan prosentase anggaran berbentuk lingkaran

- meja 1 dan kursi 3

- cat wajah, warna putih, hitam, dan merah

Segmentasi naskah :

Segment

Pemain

Adegan

Ekspresi

I

Persik, OKP, DPRD masuk

berjalan memutar menuju meja kemudian rapat perencanaan RAPBD dengan membawa map masing-masing, di waktu rapat seakan berebutan jatah anggaran (nanti ada property kertas bundar berisi sekema prosentase RAPBD)

Senyum, berwibawa, meyakinkan.

ket

Setelah beberapa waktu/menit rapat mulai pemain-pemain di bawah ini masuk satu persatu dan 3 elemen tetap melakukan rapat

II

Petani kere datang

Memutar berjalan menuju pojok sisi kiri depan, kemudian adegan mencakul dan di akhiri dengan nyante meratap

Lelah, resah, melas

Orang Miskin sakit datang

Memutar berjalan agak pincang menuju pojok sisi kanan depan, kemudian adegan seakan tak di rawat.

Resah, melas, dan sakit (teriak teriak sakit)

Anak miskin sekolah

Berjalan memutar menuju sisi pojok kiri belakng sambil mengisak menangis serta adegan mau putus sekolah karena tidak mampu biaya

Resah, sedih, kecewa, berharap, (menangis dengan suara yang keras)

Sarjana pengangguran

Berjalan memutar menuju sisi pojok kanan belakang, sambil adegan resah mencari kerja dan akhirnya putus asa

Letih, lesu, kesal dan kecewa

ket

Setelah pemain-pemain baru tersebut masuk semua, maka OKP,DPRD, Persik beradegan lagi

III

OKP,DPRD, Persik

&

semua element

Bersama-sama Memutar menghampiri seluruh element dan memperlihatkan kertas bundar yang telah dibawanya dan ketika setelah element di beritahu ia beradegan sedih dan memelas.

Berwibawa, meyakinkan, dan murah senyum, senang

&

memelas, sedih, kecewa